[Review] Belenggu

belenggu

Belenggu (2013)
Date of watching: 28 Februari 2013
Cinema: Setiabudi One 21
Duration: 100 minutes
Screenplay by: Upi Avianto
Casts: Abimana Aryasatya, Imelda Therine, Laudia Cynthia Bella, Jajang C. Noer, Bella Esperance
Directed by: Upi Avianto

Intisari: Elang (Abimana Aryasatya) terbangun dari mimpi buruknya. Ia melihat seorang pembunuh berkostum kelinci dan seorang wanita cantik misterius yang berkaitan dengan suatu pembunuhan. Awalnya, mimpi itu hanya mengganggu pikirannya saja. Sampai suatu ketika kelinci itu hadir dan membahayakan nyawa tetangganya, Djenar (Laudya Cynthia Bella) dan Senja putrinya (Avrilla). Masalah semakin bertambah rumit saat Elang jatuh cinta kepada seorang wanita penghibur bernama Jingga (Imelda Therine). Mampukah Elang mengungkap rahasia di balik mimpi buruknya itu serta menyelamatkan Djenar dan Senja?

B3

###

Belenggu adalah film thriller terbaru besutan sineas Indonesia yang menurut gue wajib ditonton. Kenapa gue bilang begitu? Sebab ini pertama kalinya gue merasa ada film thriller yang digarap sedemikian rupa sehingga membuat gue tidak merasa seperti ditakut-takuti tanpa merasa bodoh saat menonton. Kalau boleh terus terang, ini adalah film thriller lokal pertama yang berhasil menghadirkan atmosfer mencekam dan bikin frustrasi karena gue ikut terjebak dalam alur cerita dan emosi tokoh-tokoh di dalamnya.

Film ini dibuka dengan terbangunnya seorang pria bernama Elang dari mimpi buruknya yang kerap berulang. Mimpi yang sama tentang sesosok pembunuh berkostum kelinci yang membahayakan nyawa tetangganya, Djenar dan putrinya Senja. Elang digambarkan sebagai pria yang pendiam, berkelakuan aneh, dan (pada akhirnya) meresahkan orang-orang di sekitarnya. Tapi coba kita lihat dari perspektif Elang. What would you do if you were haunted by a horror dream in which you saw your neighbor being bloody jabbed to dead? Kalo gue jadi Elang, gue pasti akan ikutan paranoid dan stres berat mikirin ini. Mau ngasih tau tetangga, ntar dikira gila. Nggak ngasih tau tapi kalo bener kejadian, ntar ngerasa bersalah.

Menjadi Elang memang nggak mudah karena nggak ada yang ngerti dia. Meski begitu Abimana Aryasatya berhasil memerankan sosok Elang dengan baik. Ekspresi ketakutan dan depresinya dapet banget. Beberapa perpindahan emosi saat Elang sendiri dan saat dia bertemu dengan seorang wanita penghibur bernama Jingga (Imelda Therine) yang cukup sulit ternyata mampu ditampilkan Abimana dengan meyakinkan. Agak kaget juga sih gue, mengingat sebelumnya Abimana mendapatkan peran-peran yang cenderung ‘aman’ dan ‘normal’ seperti di Catatan Si Boy dan Sang Pialang.

Selain Abimana, gue juga suka dengan aktingnya Imelda sebagai Jingga. Kekejaman dan dendam mengalir di raut wajahnya dengan natural. Senyumnya menyungging sebelah dengan sinar mata sedikit meredup. Ini keren! Kesan wanita berdarah dinginnya dapet banget. Walaupun kalau mau jujur, gue agak kecewa dengan pengembangan latar belakang sosok Jingga yang agak lebay untuk memiliki dendam semacam itu.

Untuk tokoh-tokoh lainnya, gue nggak terlalu banyak terkesan. Soalnya aktingnya cenderung flat dan terkesan sebagai pelengkap aja dan nggak keliatan menonjol untuk berada satu frame dengan Abimana atau Imelda. Bukan berarti akting Laudya Cinthya Bella nggak oke. She’s done a good job, at least berhasil membuat gue lupa bahwa dulu dia pernah berada dalam grup Bukan Bintang Biasa. But just good is not good enough. Bella harus belajar lebih banyak cara meyakinkan penonton bahwa dia adalah sesosok istri yang ketakutan dan berada dalam tekanan.

Terlepas dari aktingnya yang biasa-biasa aja itu, penampilan Bella di film ini memberikan warna tersendiri. Apalagi kostum yang dipakainya beraroma vintage dan feminine ala tahun 50-an gitu. Di tubuh Bella, baju jadul itu malah keliatan klasik dan manis. Didukung dengan properti di sekitarnya yang bernuansa klasik, nggak heran kalo penampilan Bella ditunggu-tunggu para kaum Adam, hehehe~

Dari segi properti lainnya, gue sangat suka dengan interior di beberapa lokasi di film ini. Contohnya restoran yang kerap didatangi Elang untuk sarapan. Gaya Amerikanya memang terasa kental, tapi masih dalam koridor yang bisa diterima. Mulai dari kostum pelayan yang bergaya sporty & sexy, susunan bangku dan letak kasir yang berada di depan pintu keluar / masuk, hingga sarapan yang dipesan Elang. So American. Gue juga suka dengan tata cahayanya yang gloomy tapi nggak lebay. Ini pastinya mendukung suasana dan membingkai frustrasi yang dirasain sama Elang setiap harinya.

Yang agak aneh sih cuma salib besar dengan neon merah yang membingkai sudut-sudutnya. Salib besar merah ini terpampang di atas kepala tempat tidur Elang di kamarnya. Oke, mungkin ini untuk memberitahu penonton sedikit profil Elang yang nggak relijius, tapi tetap nggak masuk akal. Apalagi setelah lo nonton film ini.

B4'

At the end of the movie, lo pasti akan bertanya-tanya seperti gue. Dari mana si Elang dapet salib segede gaban begitu? Beli di mana, atau jangan-jangan nyolong dari tempat tinggalnya yang dulu? Another question, dengan salib segede gaban gitu, kenapa nggak sekalipun gue ngeliat Elang berdoa atau setidaknya memandang salib dengan sesirat pertanyaan kepada Tuhan (mungkin), “Why me, God?”. Jadinya salib itu hanya muncul sekedarnya. Nggak lebih dari simbol belaka yang ngasih tau bagian dari jati diri Elang. Oh, well, teman gue yang juga udah nonton film ini pun berkomentar, “Ya udah deh rempong amat lo ngurusin salib. Ini film thriller, bukan film religi.” #Jleb banget ya, hahaha~

Overall, gue sangat suka dengan Belenggu. Salut buat Upi untuk usaha kerasnya menggarap Belenggu. This is not just another thriller movie. Bukan pula horror kacrut yang dibuat ala kadarnya. Film ini sangat layak ditonton. It’s gonna be a benchmark for other Indonesian moviemakers on making thriller movies more convincing and, of course, more thrilling.

B5

B2

Trivia: Demi melakoni sebuah adegan di film ini, Imelda Therine harus rela digantung hingga adzan subuh berkumandang.

Quotes: ~

Rating: Wajib nonton!

2 Comments

  1. Broo… menurut ane, salib merah itu ada di situ ada maknanya.. Inget lo, setiap benda dan orang yang Elang temui di apartemen itu (dan dunianya) dari karakter oma, kelinci, keluarga aneh, itu semua (SPOILER ALERT) cuma bagian dari khayalannya —-> ingatannya. Dan khayalannya itu merupakan petunjuk2 terhadap masa lalunya.

    Inget kan, pertama kali dia (SPOILER ALERT) dikurung ki RSJ, di kamarnya, di atas ranjangnya ada apa? Kalo diperhatikan, Ada salib. Salib ini muncul dua kali, di kamarnya yang pertama, dan kamarnya yang kedua (ketika dia diiket).

    Nah, kehadiran salib ini, dan juga kemunculan suster horor itu adalah manifestasi trauma si Elang sama RSJ kristen itu.. Emang rasanya gak masuk akal, tapi Upi bilang kalo dia juga masukin referensi2 film2 David Lynch ke Belenggu. Konsep2 beginian sangat sering kita temui dalam film2nya Lynch, yang sejujurnya jauh lebih complicated dan absurd ketimbang film ini. Kalo pengen liat ‘akar’nya film ini, silahkan nonton ‘mulholland drive’ sama ‘donnie darko’,, 🙂

    • Hai, Achmed.. thanks ya udah mampir ke blog ini dan komen 🙂

      Ok, to make things clear first, I know what you mean and it’s right.. tapi itu juga spoiling, that’s why nggak gue tulis sedetil itu di review ini. Untuk salib merah, yes bener itu buat nunjukkin latar belakang dia seperti yang lo bilang. Tapi lo juga harus inget seperti apa keadaan dia saat terakhir kali ninggalin ‘tempat tinggalnya’ yang dulu itu.. see? dengan kondisi kejiwaan seperti itu and many other circumstances, gue nggak melihat ada keharusan dari eksistensi salib besar itu di kamar Elang. Selain buat ngasihtau dulunya dia tinggal di susteran (atau rumah sakit jiwa berbasis Katholik?) ya salib itu cuma terpampang di situ tanpa ada makna lainnya.. ditambah lagi Elang bukan tipe orang yang religius. Lagipula salib tanpa Yesus di kayunya itu identik dengan Protestan lho, salib Katholik kan sebaliknya.. agak ga sinkron aja.. well, kadang gue mikir, mungkin kalo naro salib Katholik tar takutnya ada yang ga seneng sama film ini dan nuduh blasphemy bla bla bla, yah okelah gue maklum.. but then… yaudah gitu aja sih.. Untuk susternya ya jelas aja dia muncul lalu lalang, lha wong dia menghantui Elang atas apa yang dia perbuat.. soal kelinci dan yang lain2 yes you got it right, tapi gue ngerasa nggak perlu membandingkan film ini dengan film2 lainnya macam Donnie Darko, meskipun udah banyak yang bilang begitu. Bagi gue esensi review film adalah untuk mengupas apa yang ada di dalam film itu, atau kalaupun mau membandingkannya, ya dengan film2 terdahulu karya si sutradara bukan karya sutradara lainnya..

      Thanks a lot for dropping by. Your comment is highly appreciated, Achmed.. gue sangat terbuka dengan komen, saran, dan kritik di review-review berikutnya 🙂

Leave a comment